Kabarbanuakita.com, Muara Teweh – Aroma busuk dugaan ketidakadilan kembali tercium dari aktivitas tambang batu bara di wilayah Desa Karendan, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara. Warga adat yang turun-temurun mengelola ladang berpindah kini merasa dirampas haknya oleh perusahaan tambang PT. Nusantara Persada Resource (NPR).
Polemik bermula saat PT. NPR melakukan pemberian “tali asih” kepada masyarakat sebagai kompensasi atas lahan yang akan digunakan untuk operasi tambang. Namun, warga mengklaim pemberian tersebut dilakukan secara tertutup, tidak transparan, dan tidak sesuai mekanisme musyawarah adat sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Barito Utara. Diduga Dikriminalisasi, Masyarakat Lawan.
Parahnya, warga yang menolak pemberian tali asih tersebut justru mendapat tekanan. Beberapa warga dilaporkan oleh pihak PT. NPR ke aparat penegak hukum dengan tuduhan perambahan hutan dan pendudukan kawasan tanpa izin.
Salah satu warga, Heri, tak tinggal diam. Ia mengadukan kasus ini ke Mapolda Kalimantan Tengah dengan mempertanyakan dasar laporan tersebut.
“Kami jauh lebih dulu di sini. Sebelum NPR datang, kami sudah garap lahan itu turun-temurun. Sekarang malah dituduh merambah hutan,” tegas Heri Kepada media ini , Selasa (17/06/2025).
Lebih mengejutkan, dalam rekaman suara yang disimpan warga, seorang bernama Hirung, diduga bagian dari manajemen PT. NPR, menyatakan bahwa langkah mereka dilakukan atas arahan langsung Kapolres Barito Utara. Hal ini memicu kekhawatiran publik akan dugaan keterlibatan oknum aparat dalam membungkam warga.
Ucapan Arogan: “Kami Sudah Dibekingi, Kalau Melawan Ketemu di Pengadilan!”
Ucapan bernada ancaman juga dilontarkan oleh Arif Subhan, yang disebut sebagai representasi lapangan PT. NPR. Dalam percakapannya dengan warga, ia menyebut :
“Perusahaan ini sudah dibekingi semua pihak, bahkan sampai pusat. Kalau ada masyarakat yang melawan, kita ketemu saja di pengadilan.”
Pernyataan itu dinilai warga sebagai bentuk intimidasi dan pelecehan terhadap hak masyarakat adat yang sedang memperjuangkan tanah ulayatnya.
Selain itu, proses pemberian tali asih juga diduga dilakukan secara diam-diam di dalam ruang kerja Polres Barito Utara, tanpa pelibatan warga sebagai pemilik sah ladang. Warga menyebut nama-nama seperti HR, AS, dan AN sebagai oknum manajemen PT. NPR yang hadir dalam proses tersebut.
Warga juga menuding bahwa pihak perusahaan menerapkan strategi pecah belah (divide et impera) dengan mendekati masyarakat satu per satu dan mendorong konflik horizontal antarsesama warga adat. Tujuannya diduga untuk memudahkan pengambilalihan lahan tanpa perlawanan kolektif.
“Kami dikriminalisasi, diadu domba, dan dipaksa menerima tali asih yang tidak adil. Ini bukan musyawarah, ini penyerobotan!” ungkap salah satu tokoh adat.

Tinggalkan Balasan