Kabarbanuakita.com, Muara Teweh – Hiruk pikuk polemik Tambang Batubara PT. Nusa Persada Recsues (NPR) yang mulai beroperasi di Kilo meter 90 desa Karendan, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Akan tetapi hasil tambang di angkut melalui jalur PT. MBL Ke Kalimantan Timur (Kaltim). Selama beberapa bulan terahir ini polemik antara masyarakat dengan PT. NPR selalu terjadi akibat garap lahan kelola masyarakat yang tidak jelas pembebasanya dari siapa-siapa sehingga mengadu domba sesama warga yang saling klaim batas antara desa Karendan dengan desa Muara Pari kecamatan Lahei. Bahkan antara warga pengelola sebenarnya Diduga ada pemegang surat bodong atau palsu.

Konflik sengketa lahan warga vs perusahaan tambang Batubara PT NPR bergulir hingga Mediasi di Polres Barut kamis (28/02). Namun sayangnya Mediasi tidak menemukan hasil kepastian bagi pemilik lahan yang dirugikan.

Dari pantauan secara jelas yang sudah dipaparkan bahwa yang di mediasikan hanya dalam lahan yang sudah dibebaskan PT. NPR seluas 140 hektar dan yang belum dibebaskan seluas 190 hektar yang nanti akan di mediasi khusus di Kapolsek Kecamatan Lahei. “Yang kita mediasikan saat ini khusus yang 140 hektar dan yang 190 hektar nanti akan dimediasikan khusus di Polsek Kecamatan Lahei,” kata Kasat Intelkam Polres Barut pada saat memimpin rapat.

Pada mediasi yang awalnya berjalan lancar namun pada jam kedua terjadi debat kusir akibat pihak yang sudah membebaskan tidak setuju kalau lahan yang sudah mereka bebaskan harus di cek ulang patok batas dan titik koordinatnya. Bukan hanya itu salah satu pengelola lahan yang dirugikan, Hison yang mewakili rekan-rekanya saat diwawancarai media setelah mediasi berakhir. Ia tegaskan.

“Pokoknya saya merasa kurang adil kalau PT. NPR diperbolehkan beroperasi di lahan hak kelola kami yang sudah mereka gusur sebelum mereka PT. NPR menunjukan keabsahan dokumen dan titik kordinat juga patok sampai dibatas mana yang sudah mereka bebaskan dan siapa yang menjual lahan hak kelola kami hingga ribuan tanaman karet dan kebun singkong kami di gusur,” tegas Hison.

Kemudian ia juga menyampaikan, “Memang betul saya bukan orang desa Karendan atau desa Muara Pari akan tetapi secara jelas kami memiliki hak kelola disana yang sejak awal seijin dengan pemerintah dan lembaga adat setempat bahkan dalam kelompok pengelola juga ada beberapa orang warga desa Pari dan juga Karendan, Kami menjadi korban akibat konflik sengeketa lahan ini. Hingga kami Menduga sengaja di bangun oleh Menejemen PT. NPR yang pengakuannya sudah membebaskan lahan sebanyak 140 Hektar padahal jika menghitung pengakuan masing-masing yang disebutkan sudah membebaskan lahan itu hanya sekitar kurang lebih 38 hektar itupun lahanya tidak sehamparan. Ujarnya. Hison menambahkan,
“Yang jelas jika benar sudah membebaskan lahan kami dengan pihak lain kenapa PT. NPR tidak bisa menunjukan batas yang sudah dibebaskan supaya kami tau jelas batasan antara kebun yang masih butuh pengelolaan dan masih dalam sangketa bahkan itu sebetulnya sudah menjadi aturan pembebasan lahan wajib diketahui persambitan dengan Kepala desa setempat, sedangkan yang terjadi kepala desa karendan tidak pernah mengetahui adanya pembebasan lahan yang keterangan Menejemen PT. NPR hanya melalui rekomendasi ketua Tim.
Sehingga kami menduga itu dimanfaatkan oleh PT. NPR, untuk melakukan pencaplokan lahan warga, Terang Hison.

Pada saat mediasi kami hanya sebagai pendamping yang merekomendasikan namun segala tekhnis itu sepenuhnya kewenangan dari PT. NPR karena kami tidak mengerti hal-hal yang berkaitan dengan titik koordinat segala macam.
“Kami hanya tim berkewenangan selaku pendamping dan tidak pernah merekomendasikan untuk meminta dibayar oleh PT. NPR, terang Sustika Malabaya.

Hal serupa yang disampaikan oleh Prianto Samsuri dengan tegas ia katakan. “Kami tidak memungkiri memang ada hak Jhon Kenedy, Butot, Tawani dan yang lainnya . Tapi itu semua ada batasnya. Jika benar PT. NPR sudah membebaskan lahan 140 hektar maka kami akan minta cek lapangan agar dapat untuk menunjukan berkas serta titik koordinatnya dan batas yang sudah dibebaskan karena saya yakin disitu ada hak kelola kami. “Saya sejak tahun 2019 selaku asli masyarakat desa Karendan yang diminta menjadi koordinator pasti tau siapa pemilik-pemilik pengelola lahan disana jadi saya harap PT. NPR Jangan hanya menciptakan Menejemen konflik, mari tunjukan dilapangan batas mana yang sudah dibebaskan. Selain itu, Ricy selaku Kepala desa Karendan, saat mediasi meminta kepada Menejemen PT. NPR jika mengatakan sudah ada pembebasan kita tidak perlu otot-ototan, Mana berkasnya dan tunjukkan jika ada ? Kerna saya selaku kepala desa wajib mengetahui segala pengurusan dalam wilayah desa kami, Tuntut Ricy. Menejemen PT. NPR tidak dapat menunjukkan berkas berkas terkait sengketa pembebasan lahan yang terjadi di kecamatan Lahei.

Manejemen PT NPR tidak dapat memberikan sedikit komentar terkait mediasi dengan warga saat mau di wawancara terlihat menajemen PT NPR berupaya untuk menghindari pertanyaan wartawan.

(Hertosi/Kabar Banua Kita)